Akhir Juli 2024 Gedung Riau Creative Hub (RCH) diresmikan. Tak salah, jika masyarakat Riau kini mulai memiliki harapan tinggi bahwa sektor ekonomi dan industri kreatif akan menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi.
Alasan tersebut bukan tanpa sebab. Para punggawa yang ditunjuk menukangi tiap bidang dari ekonomi kreatif adalah orang yang ‘tunak’ dalam bidangnya. Sebut saja Rino Dezapaty. Ia ditunjuk untuk mengasuh bidang musik. Kiprahnya bersama Riau Rhythm tak perlu ditagukan lagi. Ia telah mondar mandir melantunkan musiknya seantero negeri bahkan hingga Amerika dan Eropa.
Bidang-bidang lain juga begitu, pengasuh bidang IT, Film, Kriya, DKV, Seni Rupa, Pertunjukan dan bidang lainya adalah orang yang sudah malang melintang di bidang masing-masing.
Tapi apakah RCH akan mampu memenuhi harapan masyarakat Riau? Apakah RCH mampu memercik kekuatan ekonomi baru di Provinsi Riau? Sehingga tak melulu bergantung pada komoditas: Sawit, Migas dan Pulp Paper.
Rasanya harapan itu masih belum keliatan hingga akhir 2024 ini. Roadmap atau peta jalan RCH dalam mengembangkan ekonomi dan industri kreatif kelihatan kurang jelas. RCH mau mengambiil peran dimana? Apakah hanya sekedar menjadi pusat edukasi bagi para pelaku industri kreatif atau bisa lebih dari itu?
Ambil contoh pengembangan industri film di Riau. Perlu saya ingatkan kata ini: INDUTSRI.
Ibaratnya begini, jika TESLA jadi bikin pabriknya di Indonesia, perusahaan penunjang pembuatan mobil listrik TESLA–Ntah itu perusahaan baterainya, plastiknya, kapasitornya dan apapun lainya–juga akan berbondong-bondong membuka pabriknya di Indonesia.
Sama juga, jika film-film karya ‘anak Riau’ banyak yang bisa tembus bioskop, jasa penunjangnya juga akan terangkat, mulai dari sektor musiknya, teatrikalnya, seni peran, IT, DKV dan lainya. Dan itulah yang dikatan INDUSTRI FILM. Dan ini yang menurut saya harus dicapai, sehingga impactnya memacu pertumbuhan ekonomi. Percikan ekonominya terjadi, dan industrinya berkelanjutan, sehingga industri film bisa berjalan.
Tapi rasanya Riau tak kunjung berhasil untuk menampilkan karya nya di Bioskop-bioskop, meskipun di Riau banyak sekali tempat yanga da bioskopnya. Bayangkan dengan Sumbar, bioskopnya hanya da satu di Padang, tetapi filmnya ‘ tak seperti film yang diproduksi di Sumbar maupun Sumut, yang sudah ‘terbang’ kemana-mana.
Saya juga tak mengerti apa persoalan persisinya. Bisa jadi para penggiat perfilman di Riau masih berpikir tunggal dan mengedepankan film yang idealis menurut pemikirinya, dan dinikmati serta di bedah di ruang lingkup kecil-kecil.
Harusnya tak begitu, jika industri film bisa kita lahirkan, kampanye idealisme kita tentang budaya dan pariwisata Riau bisa kita sampaikan secara masif dan massal. Ketika itu terjadi, barulah RCH dinilai berhasil membangkitkan industri kreatif di Provinsi Riau.
Sudah sepatunya para punggawa RCH merumuskan ulang mau bagaimana peta biru yang harus diciptakan. Berat memang, tapi perlu dilakukan. Perlu step jelas apa yang akan dibangun jangka pendek, menengah dan panjang.
Dalam mengembangkan industri semua orang harus terlibat, harus sama sama berkembang, kemapuan para punggawa di RCH harus tahap demi tahap ditularkan ke ‘adek-adek’ yang masih merintis karirnya. Pola edukasinya harus sustain. Tak bisa parsial.
Oleh sebab itu, RCH betul-betul harus berperan dalam pengembangan ini, mulai hulu hingga menggaet jaringan di semua bidangnya untuk terlibat dalam pembangunan industri kreatif di Riau.
Tak ada yang lebih, selain nantinya bisa mendengar bahwa salah satu penopang kekuatan ekonomi Riau adalah Industri Kreatif. Semangat, RCH!