Banjir & Tak Harmoninya Tata Kota

Hari ini, Pekanbaru dilanda Banjir. Atau ada juga yg mengahluskan katanya; genangan air. 

Padahal, jika melihat terminologi bahasa, genangan air radiusnya sekitar 100 meter, lebih dari itu masuk kategori banjir.

Di Pekanbaru, mungkin lebih dari separuh jalan-jalan protokol dilanda banjir. Termasuk di jalan-jalan yang terpampang baliho para calon Walikota Pekanbaru yang salah satu kampanyenya, tuntaskan persoalan banjir di Kota Bertuah ini.

Tapi, apakah bisa? Apakah mampu? 

Mulai dari terbatasnya APBD hingga banyaknya kepentingan politik di anggaran daerah tersebut, semua akan jadi tantangan Walikota Pekanbaru berikutnya.

Belum lagi, setidaknya 10 tahun belakangan, Pekanbaru dibiarkan tumbuh dan berkembang secara acak. Kurang teratur. Kurang ditata.

Sproud. Menyebar. Beserak kalau kata anak Pekanbaru. Semua membangun kawasan, ntah itu perumahan maupun lainya, tanpa adanya koneksi dengan kawasan sebelahnya. Drainase tak terhubung. Parit-parit akhirnya tersumbat. 

Belum lagi sampah yang meresahkan. Sistem pengelolaan sampah tak optimal. Bahkan, pernah di suatu waktu, sampah-sampah menumpuk di jalan-jalan protokol, di kota yang katanya Madani ini. 

Ada lagi masalah trotoar dan parit di tepi jalan digunakan pedagang untuk jualan. Berkali-kali ditertibkan, sebanyak itu juga mereka kembali jualan. Ketika digusur, mereka sampaikan sudah bayar kepada si A uang sewanya. Atau, alasan ekonomi yang susah. 

Tapi apakah para pedagang yang kapling trotoar dan parit jalan ini memang tergolong kelompok miskin? Miskin ekstrim? Soal ini saya akan bahasa di lain kesempatan.

Tapi minimal, beberapa masalah di atas harus mampu diselesaikan. Harus bisa di tuntaskan. Setidaknya, pada periode pertama abdinya, persoalan banjir ini berkurang sekitar 70%.

Pekanbaru butuh bertransformasi. Mulai transformasi birokrasi, layanan publik yang harus prima hingga tatanan kota yang tertib, rapi dan bersih. Transformasi semacam ini butuh sentuhan digital. Tapi apakah, secara umum, para ASN Kota siap dengan digitalisai? Atau hanya digitalisasi hanya slogan? Kita bahas di tulisan lain ya…

Transformasi harus dimulai dari pemimpinya. Tak bisa mengharapkan transformasi lahir dari bawah. Jika lahir dari bawah, itu namanya revolusi, bukan transformasi.

Transformasi harus dimulai dari pemimpinya. Tak bisa mengharapkan transformasi lahir dari bawah. Jika lahir dari bawah, itu namanya revolusi, bukan transformasi.  

Saat ini, tak bisa mengharapakan masyarakat punya sistem pembuangan dan pengelolaan sampah yang baik. Tak bisa juga mengaharapan antar kawasan pemukiman, perkantoran dan pergudangan terkoneksi dengan baik dalam hal drainasenya. Semua nya perlu diatur dengan tegas. Oleh siapa? oleh Walikota Pekanbaru.

Tak bisa dibiarkan kota ini tumbuh dengan sendirinya. Semaunya. Maunya masyarakat. Maunya pengembang properti atau maunya para pedagang kaki lima. Kota ini harus diatur dengan harmoni. Keselarasan. Ketertiban. Hingga keasrianya.

Tapi tentu, untuk menyeimbangkan pembangunan kota ini, butuh pemimpin yang punya nyali. Punya visi. 

Btw, yang cocok jadi Walikota Pekanbaru berikutnya siapa ya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Proudly powered by WordPress | Theme: Hike Blog by Crimson Themes.